Orangutan Kalimantan dan Peran Pengelolaan Hutan Desa Telaga dalam Menjaga Konektivitas Habitat

November 2025

Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) merupakan salah satu primata paling penting bagi keberlanjutan ekosistem hutan hujan tropis di Asia Tenggara. Sebagai satwa dengan peran ekologis kunci, orangutan tidak hanya menjadi indikator kesehatan hutan, tetapi juga penopang utama proses regenerasi alami. Namun, statusnya di alam terus berada pada kondisi genting. IUCN Red List (2023) menetapkan orangutan Kalimantan sebagai spesies dengan status Kritis (Critically Endangered) akibat penurunan populasi yang sangat cepat dalam beberapa dekade terakhir. Populasi orangutan Kalimantan menunjukkan penurunan tajam berdasarkan data Population and Habitat Viability Assessment (PHVA): Final Report (KLHK, 2017) estimasi populasi orangutan Borneo turun dari sekitar 101.489 individu pada 1997–2002 menjadi ±70.691 individu pada 2009–2014, mencerminkan penurunan lebih dari 30% dalam kurang dari dua dekade.

Di tengah situasi kritis tersebut, Hutan Desa Telaga di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, yang memiliki luas ±2.758 hektare berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018), hadir sebagai salah satu ruang hidup yang tetap mempertahankan jejak keberadaan orangutan. Masyarakat setempat masih sering menjumpai orangutan melintas di kanopi pepohonan, membangun sarang, atau bergerak bebas pada jalur jelajah (home range) alami. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan hutan desa masih menyediakan habitat yang layak, relatif aman, dan memiliki konektivitas ekologis yang terjaga.

Penurunan Populasi dan Menyempitnya Habitat

Hilangnya habitat merupakan penyebab dominan menurunnya populasi orangutan Kalimantan. Studi ilmiah terbaru (Santika et al. 2023; Meijaard et al. 2024) menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan, aktivitas penebangan, pembangunan infrastruktur, serta fragmentasi lanskap menghambat pergerakan orangutan sekaligus mengurangi ketersediaan pakan. Fragmentasi juga menyebabkan populasi kecil terisolasi sehingga rentan terhadap penurunan genetik (genetic bottleneck). Selain itu, kebakaran hutan yang semakin intens akibat perubahan iklim meningkatkan kerentanan habitat. Kebakaran besar yang terjadi di Kalimantan tidak hanya menghancurkan vegetasi penghasil pakan, tetapi juga memaksa orangutan turun ke area terbuka dan berpotensi berkonflik dengan manusia.

Ancaman terhadap orangutan tidak hanya berasal dari degradasi habitat. Penelitian terbaru juga menyoroti peningkatan risiko konflik manusia–orangutan, terutama di sekitar area dengan pembukaan hutan baru. Dalam kondisi tertekan, orangutan kerap memasuki kebun masyarakat untuk mencari pakan, sehingga memicu potensi kekerasan atau pembunuhan. Studi Nasution et al. (2024) menunjukkan bahwa konflik tersebut sering terjadi di wilayah yang mengalami penurunan tutupan hutan dalam 10 tahun terakhir.

Peran Kunci Orangutan dalam Menjaga Ekosistem

Orangutan dijuluki sebagai “arsitek hutan” atau “insinyur ekosistem” karena peran ekologisnya yang tidak tergantikan. Mereka mengonsumsi lebih dari 200 jenis buah, biji, dan pucuk daun. Proses pemencaran biji (seed dispersal) yang mereka lakukan merupakan mekanisme penting dalam regenerasi hutan tropis. Studi oleh Ancrenaz et al. (2024) menegaskan bahwa daerah yang masih memiliki populasi orangutan cenderung memiliki struktur vegetasi yang lebih sehat, tingkat keanekaragaman hayati lebih tinggi, dan kemampuan adaptasi lanskap yang lebih kuat terhadap perubahan iklim.

Dengan demikian, melindungi orangutan bukan hanya upaya konservasi spesies, tetapi juga bagian dari strategi menjaga stabilitas ekosistem yang menyediakan jasa lingkungan penting bagi manusia, mulai dari udara bersih, cadangan air, hingga mitigasi bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan.

Hutan Desa Telaga: Ruang Hidup Bersama Manusia dan Satwa Liar

Kesadaran masyarakat Desa Telaga menjadi pilar utama keberlanjutan ekosistem hutan di wilayah tersebut. Pola pengelolaan hutan desa yang mengedepankan perlindungan ekologis, pemanfaatan lestari, serta pengawasan kolektif telah menciptakan lingkungan yang aman bagi flora dan fauna, termasuk orangutan. Masyarakat memahami bahwa menjaga hutan berarti menjaga sumber kehidupan mereka sendiri.

Cerita mengenai perjumpaan masyarakat dengan orangutan bukan lagi sekadar pengalaman ekologis, tetapi menjadi bentuk relasi harmonis antara manusia dan alam. Relasi ini membentuk kesadaran kolektif bahwa keberadaan orangutan adalah indikator bahwa hutan masih berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, menjaga ruang hidup orangutan sama dengan menjaga masa depan desa.

Hutan Desa Telaga merupakan bukti nyata bahwa kolaborasi antara masyarakat dan alam dapat berjalan beriringan. Dengan komitmen yang terus diperkuat, kawasan ini mampu menjadi contoh pengelolaan hutan berbasis komunitas yang efektif dalam mendukung konservasi spesies terancam punah.

Daftar Pustaka

Bagikan:
Publikasi Lainnya