Setiap tanggal 22 Mei, masyarakat global bersatu untuk memperingati Hari Keanekaragaman Hayati Internasional. Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan sebuah momen meningkatkan pemahaman dan kesadaran kita bersama mengenai isu-isu fundamental terkait keanekaragaman hayati. Tahun 2025, tema yang digaungkan adalah "Harmony with nature and sustainable development". Harmoni dengan Alam dan Pembangunan Berkelanjutan menekankan pentingnya pendekatan yang melibatkan seluruh pemerintahan dan seluruh lapisan masyarakat untuk mencapai 23 target Kerangka Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (KMGBF) dan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Peringatan ini menjadi pengingat kolektif akan peran sentral keanekaragaman hayati, bukan hanya sebagai warisan alam yang tak ternilai, tetapi juga sebagai fondasi utama bagi beragam layanan ekosistem yang menopang kehidupan dan kesejahteraan umat manusia, terutama bagi komunitas yang kehidupannya bergantung secara langsung pada ekosistem hutan.
Memahami Jantung Kehidupan: Apa Itu Keanekaragaman Hayati?
Keanekaragaman hayati, atau yang lebih dikenal dengan istilah biodiversitas, merujuk pada keseluruhan variasi bentuk kehidupan di Bumi. Ini mencakup tiga tingkatan utama: keragaman ekosistem (seperti hutan, terumbu karang, padang rumput), keragaman spesies (berbagai jenis tumbuhan, hewan, jamur, dan mikroorganisme), serta keragaman genetik di dalam masing-masing spesies. Keanekaragaman hayati adalah landasan kehidupan itu sendiri dan merupakan pilar esensial bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
Ketergantungan kita padanya bersifat mutlak, mulai dari kebutuhan dasar seperti pangan yang beragam, sumber bahan baku obat-obatan, pasokan energi terbarukan, hingga penyediaan udara bersih dan air minum yang berkualitas. Lebih jauh lagi, keanekaragaman hayati berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi terhadap bencana alam, serta menjadi sumber rekreasi, inspirasi budaya, dan pengetahuan ilmiah. Sebagai contoh konkret, praktik Hutan Komunitas yang dikelola dengan baik menunjukkan bagaimana keanekaragaman hayati yang terjaga mampu menyediakan layanan ekosistem secara optimal. Hutan yang kaya akan flora dan fauna tidak hanya menjadi sumber penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat lokal, tetapi juga memainkan peran vital dalam penyerapan karbon global, pengaturan siklus hidrologi, dan pencegahan erosi tanah.
Pentingnya keanekaragaman hayati juga terlihat dari fakta bahwa lebih dari 80 persen makanan manusia berasal dari tumbuh-tumbuhan. Selain itu, 80 persen penduduk di daerah pedesaan negara berkembang bergantung pada pengobatan tradisional berbasis tumbuhan untuk kebutuhan kesehatan dasar.
Respons Global Terhadap Krisis: Kerangka Kerja Kunming-Montreal
Menghadapi krisis penyusutan keanekaragaman hayati yang semakin mengkhawatirkan, komunitas internasional telah menyepakati Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (KMGBF). Kesepakatan ini berfungsi sebagai cetak biru (blueprint) global dengan target ambisius untuk menghentikan dan membalikkan tren kehilangan keanekaragaman hayati pada dekade ini. KMGBF bertujuan untuk mentransformasi secara fundamental hubungan antara manusia dengan alam, selaras dengan visi besar Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) diharapkan dapat memicu perubahan transformasional yang dibutuhkan dalam berbagai sistem krusial – termasuk sistem pangan dan pertanian, pembangunan infrastruktur, pola konsumsi dan produksi, serta tata kelola air dan ekosistem lainnya. Semua upaya ini esensial untuk mencapai visi utama KMGBF: "hidup dalam harmoni dengan alam" pada tahun 2050.
Untuk mewujudkan komitmen global ini, pemerintah di seluruh dunia didorong untuk mengambil langkah-langkah progresif dan konkret. Ini termasuk mobilisasi pendanaan yang memadai, baik dari sumber domestik maupun internasional, serta upaya strategis untuk mengalihkan subsidi publik dan aliran investasi lainnya dari aktivitas yang berpotensi merusak alam menuju praktik yang mendukung kelestarian. Lebih lanjut, setiap negara diharapkan untuk menyusun, memperbarui, dan melaksanakan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Nasional (National Biodiversity Strategies and Action Plans/NBSAPs) yang efektif. Penyusunan NBSAPs ini haruslah inklusif, dengan mengatasi ketidaksetaraan, memajukan pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan, menghargai dan mengintegrasikan pengetahuan tradisional, serta secara aktif memberdayakan perempuan, anak perempuan, masyarakat adat dan komunitas lokal (IPLCs), serta kelompok rentan lainnya.
Peran Sentral Masyarakat Lokal dan Komitmen CFES
CFES percaya bahwa masyarakat lokal, termasuk para pengelola hutan berbasis masyarakat, memegang peranan kunci yang tak tergantikan dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati. Pengetahuan tradisional dan praktik kearifan lokal yang telah teruji oleh waktu seringkali mengandung prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan selaras dengan upaya pelestarian. Kami meyakini bahwa serangkaian kebijakan yang mendukung, regulasi yang jelas, serta insentif yang tepat sangat diperlukan untuk mendorong penghidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat sekaligus membangun fondasi ekonomi hijau yang kuat dan berdaya tahan.
Mari kita bersama-sama, sebagai bagian dari komunitas global, bahu-membahu mewujudkan harmoni sejati antara manusia dan alam demi masa depan Bumi yang lestari dan sejahtera. Keberhasilan dalam menjaga keanekaragaman hayati bukanlah tanggung jawab segelintir pihak, melainkan kesuksesan kita semua.
Sumber pustaka:
Sustainably manage forests, combat desertification, halt and reverse land degradation, halt biodiversity loss, https://www.un.org/sustainabledevelopment/biodiversity/