Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, menghadapi banyak tantangan serius dalam menjaga kelestarian alamnya. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan aktivitas industri yang masif telah menyebabkan kerusakan ekosistem dan hilangnya habitat flora dan fauna. Kebutuhan akan solusi inovatif semakin mendesak, dan skema biodiversity offset muncul sebagai salah satu upaya untuk mengkompensasi dampak negatif pembangunan terhadap keanekaragaman hayati.
Biodiversity offset adalah suatu mekanisme kompensasi untuk mengatasi dampak negatif dari pembangunan terhadap keanekaragaman hayati. Prinsipnya ialah Kerusakan keanekaragaman hayati yang terjadi di suatu lokasi akibat aktivitas pembangunan "diimbangi" dengan upaya konservasi atau restorasi di lokasi lain. Lokasi pengganti ini idealnya memiliki nilai keanekaragaman hayati yang sama atau lebih tinggi. Tujuan dari skema ini ialah "No net loss" menjaga agar tidak ada kehilangan bersih (total) dari keanekaragaman hayati secara keseluruhan serta memastikan bahwa pembangunan ekonomi tetap berjalan, namun dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan upaya pelestarian alam. Di Indonesia, skema ini dapat diintegrasikan dengan perhutanan sosial. Masyarakat lokal yang mengelola hutan sosial berkesempatan mendapatkan manfaat ekonomi melalui penyediaan jasa lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan restorasi atau konservasi tersebut. Dengan demikian, mereka turut berkontribusi dalam pelestarian keanekaragaman hayati.
Meskipun menjanjikan, implementasi skema biodiversity offset juga menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, perlu menyusun regulasi khusus yang mengatur secara komprehensif mengenai biodiversity offset. Saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang atau peraturan pemerintah yang secara spesifik mengatur tentang biodiversity offset. Beberapa peraturan perundang-undangan yang ada saat ini hanya menyinggung secara tidak langsung mengenai prinsip "pencegahan, mitigasi, dan kompensasi" dampak lingkungan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, perlu adanya metodologi yang baku dan transparan dalam menghitung besaran kompensasi dan dampak kerusakan keanekaragaman hayati. Ketiga, diperlukan mekanisme monitoring dan evaluasi yang efektif untuk memastikan penerapan skema ini digunakan secara tepat sasaran dan memberikan dampak positif bagi konservasi keanekaragaman hayati. Keempat, penting untuk memastikan skema ini memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat adat atau masyarakat lokal (IPLC) dan tidak menimbulkan konflik sosial.
Di tengah tantangan ini, Community Forest Ecosystem Services (CFES) sebagai lembaga perkumpulan bertujuan untuk memungkinkan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IPLC) mengelola sumber daya hutan alam mereka secara berkelanjutan. Telah menerapkan skema biodiversity offset untuk mengganti kerusakan keanekaragaman hayati yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan dengan memberikan kompensasi melalui instrumen Payment for Ecosystem Services (PES). Salah satu contoh penerapan skema ini ada di Hutan Desa (HD) Rio Kemunyang, Desa Durian Rambun, Jambi yang merupakan salah satu Desa Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Skema biodiversity offset pada dasarnya merupakan mekanisme dimana kerusakan keanekaragaman hayati di suatu lokasi dikompensasi dengan upaya konservasi atau restorasi di lokasi lain. CFES saat ini telah memfasilitasi penerapan/implementasi skema biodiversity offset di HD Rio Kemunyang bersama perusahaan atau industri yang berdampak pada keanekaragaman hayati khususnya spesies Trenggiling/Sunda Pangolin (Manis javanica) yang termasuk dalam daftar merah IUCN sebagai spesies yang Critically Endangered (CR) atau terancam punah. Kompensasi dari perusahaan disalurkan melalui CFES kepada LPHD dengan mekanisme performance-based Payment for Ecosystem Services (PES). Dana PES ini kemudian digunakan untuk/mendukung berbagai kegiatan konservasi dan restorasi ekosistem di Hutan Desa Rio Kemunyang, seperti patroli dan monitoring kawasan HD melalui aplikasi SMART Patrol, pembibitan, rehabilitasi, terutama bantuan untuk masyarakat yang terpinggirkan dan kelompok usaha perempuan.
Penerapan skema biodiversity offset di Hutan Desa Rio Kemunyang memberikan sejumlah manfaat. Pertama, skema ini menjadi Kompensasi atas kegiatan pengembangan proyek yang tidak bisa dihindari dan menimbulkan kerusakan ekosistem serta berdampak signifikan terhadap keanekaragaman hayati dari aktivitas pengembangan proyek. Kedua, masyarakat lokal dilibatkan secara aktif dalam upaya konservasi dan rehabilitasi hutan, sehingga mendorong pemberdayaan masyarakat dan peningkatan ekonomi lokal. Ketiga, skema ini berkontribusi pada pelestarian keanekaragaman hayati di Hutan Desa Rio Kemunyang, yang merupakan habitat bagi berbagai flora dan fauna penting khususnya Trenggiling, Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan spesies lainnya.
Skema biodiversity offset yang diterapkan CFES di Hutan Desa Rio Kemunyang merupakan langkah inovatif dalam upaya menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia dan mendorong pemberdayaan masyarakat. Dengan pengelolaan yang baik dan dukungan dari berbagai pihak, skema ini berpotensi untuk direplikasi di wilayah lain dan memberikan kontribusi signifikan bagi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.